Minggu, 14 Oktober 2012

Dengan Pujian


Karena judulnya berat, yaitu Dengan Pujian.,sebelumnya saya puji dulu Tuhan saya yang baik sekali memberi saya ide untuk menulis. Alhamdulillahirrabbil al-amin.

Hari ini saya baru saja menonton satu drama dari salah satu stasiun televisi Singapura. Judulnya -sampai 'credit" ditayangkan- pun saya tak tau, karena saya menonton separuh akhir bagian drama ini. Inti dari cerita drama yang saya tonton ini adalah tentang betapa pentingnya suatu pujian untuk membangun kepercayaan diri hingga membentuk karakter seseorang.

Drama orang Singapura ini berkisah tentang seorang anak laki-laki usia sekolah menengah yang dibesarkan oleh seorang ayah, single parent. Anak tersebut merupakan anak baik, anak berbakat di sekolahnya, namun bakatnya ini sama sekali tidak didukung orang tua, guru, dan teman-temannya. Sang anak berbakat sebagai..petarung. Yak petarung. Mungkin lebih tepatnya anak ini disebut berbakat di bidang olahraga beladiri. (hehe, saya ambil istilah petarung karena saya ambil langsung dari terjemahan televisinya, hehee). Tentu saja, di dunia manapun, bakat seperti ini masih sulit diterima, karena penuh kekerasan dan pandangan sebelah mata terhadap bidang olahraga ini untuk kehidupan (mapan) yang diharap-harapkan orang-orang.

Singkat cerita, anak yang telah melalui banyak liku-liku kehidupan ini ujung-ujungnya dikeluarkan dari sekolah. Kepala Sekolahnya tidak suka anak yang suka berkelahi. Di saat bersamaan ayah si anak yang sudah sakit-sakitan jatuh koma di rumah sakit. Karena dokter sudah memberi isyarat bahwa ayahnya tidak akan bertahan lama lagi, si anak berlari kencang  ke sekolah dan menghadap kepala sekolah memohon padanya untuk datang menemui ayahnya dan berkata bohong pada sang ayah bahwa anaknya diterima bersekolah kembali, tidak jadi di-drop out. Setelah diyakinkan guru yang baik, kepala sekolah mau menemui ayah si anak

Setelah semua bertemu di ruang rawat inap, permintaan si anak terhadap kepala sekolahnya dijalankan oleh kepala sekolah tersebut. Ternyata ayahnya tahu, sang kepala sekolah telah berbohong. Di detik-detik sebelum meninggalnya, si ayah sempat berkata bahwa..  tidak ada guru yang gagal mendidik muridnya, orang tua nya (dirinya sendiri) lah yang gagal. Ternyata masa kecil sang ayah dulu sangatlah suram. Ia dibesarkan dalam lingkungan penuh kekerasan hingga ia sendiri pun tidak tahu cara mengungkapkan kasih sayang, bahkan pada anaknya sendiri. Saat anaknya ternyata diketahui berbakat dalam bidang olahraga bela diri (yg disebutnya petarung), ia malah semakin kasar pada anaknya dan tidak pernah memujinya. Sang ayah mengira anaknya tidak perlu masuk ke dunia bela diri, jalani saja hidup yang "lurus seperti orang kebanyakan saja". Ternyata sang ayah salah dan ia sadar. Di akhir, ia berkata ia sangat menyayangi anaknya, memuji bakat anaknya dan meminta anaknya jadi lah atlet bela diri internasional. Lalu...sang ayah pergi selamanya, di hadapan anak, seorang teman, dan guru-gurunya.

Beberapa tahun kemudian, anak laki-laki ini menjadi atlet bela diri kebanggaan Singapura dan menjadi kakak alumni favorit -dari sekolah yang sempat mengeluarkan dirinya.

Anak tersebut menginspirasi adik-adik kelas di almamaternya untuk terus mau menjaga impian, sesulit apapun impian tersebut. Selain itu anak laki-laki ini juga meninggalkan pelajaran berharga untuk teman-teman, orang tua, dan guru-guru akan pentingnya sebuah pujian.

Kenapa pujian? Karena pujian adalah salah satu suntikan semangat. Mungkin terdengar hanya sebagai rangkaian kata, sorak-sorak kagum, tanda salut, atau yang paling lemahnya..hm..basa basi (?) sebagai tanda senang (?). 



Betapa sepele pun suatu pujian itu ternyata mampu membangun kepercayaan diri seperti yang saya sebut di paragraf awal. Tidak peduli umur berapapun, bagi yang mempunyai impian, cita-cita, di saat ia sangat bersemangat membangun harapan.. dan bergerak secepat gerak Brown untuk melontarkan mimpinya itu menjadi nyata..ditambah dengan stimulus pujian itu akan membangkitkan energi semangat.

Kedengaran seperti anak TK kah butuh pujian? Oke, kalau kita berpikiran pendek mungkin iya, benar. Seperti kekanak-kanakan. Atau kasarnya, seperti haus pujian. Haus pujian itu beda lagi. Ingat saja segala sesuatu yang berlebihan pun memang tak baik, haus pujian ya berarti nafsu berlebih untuk dipuji. Tapi harus dikasi pujian itu jelas beda, tujuannya semata-mata memberi stimulus semangat :)

Dengan memberikan pujian, itu juga tersirat akan sarat makna doa untuk orang yang dipuji hasil kerja/karyanya. Tersirat doa agar yang dipuji menjadi lebih baik dan lebih sukses, tersirat doa agar selalu lurus di jalan yang benar menuju cita-cita, tersirat doa yang agung supaya Tuhan melindungi. Doa itu energi positif kan? Pujian itu energi positif kan?

Kembali sebentar ke cerita drama asal Singapura di atas, karena pujian yang sempat diucapkan sang ayah sebelum meninggal tersebut, sang anak yang tadinya down, menjadi kembali bersemangat. Tidak sia-sia, bakat olahraga bela diri nya itu di kemudian hari ternyata sukses besar

Masih beratkah untuk mau memberikan pujian ke adik-adik kecil kita yang bersemangat? Masih mau mengecilkan mental anak-anak yang punya cita-cita tinggi? Masih merendahkan impian teman sendiri? Jangan deh..

Adik-adik kecil itu, anak-anak itu sebenarnya juga potret diri kita, potret kehidupan kita saat kita dulu memandang masa depan. Kita dulu kecilnya juga dengan riang membangun impian dan cita-cita kita. Namun setelah dewasa, karena dijebak realitas lah, kita sering kekurangan rasa optimis. Jangan sampai penjatuhan mental, penyepelean, terjadi lagi pada adik-adik maupun anak-anak ini.

Contoh kecil, jangan segan kasi ke pujian ke adik ini yang mau cuci tangan sebelum makan. Itu akan menyemangati hatinya untuk terus mau jaga kebersihan lho, 


Kita pun yang sudah berumur di atas 20  ini bisa, kok..untuk memuji dan menyemangati  diri. Usir jauh-jauh mental yang lemah, yang kecil, yang sering dijebak kata "kenyataannya adalah..". Usir saja, usir ke samudra sana (hii..jauh ya :))
 
Adik-adik kecil itu, anak-anak itu sebenarnya juga potret diri kita, potret kehidupan kita saat kita dulu memandang masa depan. Kita dulu kecilnya juga dengan riang membangun impian dan cita-cita kita. Namun setelah dewasa, karena dijebak realitas lah, kita sering kekurangan rasa optimis. Jangan sampai penjatuhan mental, penyepelean, terjadi lagi.

Kita pun yang sudah berumur di atas 20  ini bisa, kok..untuk memuji dan menyemangati  diri. Usir jauh-jauh mental yang lemah, yang kecil, yang sering dijebak "kenyataannya adalah..".

Hmm.. Melihat berbagai pemberitaan nasional di televisi..

Kita sudah kelelahan mental kita sering dijatuhkan, bangsa kita sudah kelelahan

Saatnya kita puji lagi diri dan harkat kita, dengan lantang, selantang protocol wisuda ketika mengumumkan wisudawan yang nilainya terbaik, “Dengaaan Pujiiian” (jadi ingat wisuda :p)

Bangkit saja lagi. Bangkit!  Satu kata itu saja yang kita butuh 



Artikel ini saya buat sambil mendengarkan lagu Greatest Love of All yang dinyanyikan oleh Whitney Houston. Coba dengerin deh lagunya. Bagus. Oiya, gambar-gambar yang dimuat merupakan hasil dari google-ing bebas

Salam hangat


Tidak ada komentar:

Posting Komentar