Karena judulnya
berat, yaitu Dengan Pujian.,sebelumnya saya puji dulu Tuhan saya yang baik
sekali memberi saya ide untuk menulis. Alhamdulillahirrabbil al-amin.
Hari ini saya baru
saja menonton satu drama dari salah satu stasiun televisi Singapura. Judulnya
-sampai 'credit" ditayangkan- pun saya tak tau, karena saya menonton
separuh akhir bagian drama ini. Inti dari cerita drama yang saya tonton ini
adalah tentang betapa pentingnya suatu pujian untuk membangun kepercayaan diri
hingga membentuk karakter seseorang.
Drama orang
Singapura ini berkisah tentang seorang anak laki-laki usia sekolah menengah
yang dibesarkan oleh seorang ayah, single parent. Anak tersebut merupakan anak
baik, anak berbakat di sekolahnya, namun bakatnya ini sama sekali tidak
didukung orang tua, guru, dan teman-temannya. Sang anak berbakat
sebagai..petarung. Yak petarung. Mungkin lebih tepatnya anak ini disebut
berbakat di bidang olahraga beladiri. (hehe, saya ambil istilah petarung karena
saya ambil langsung dari terjemahan televisinya, hehee). Tentu saja, di dunia
manapun, bakat seperti ini masih sulit diterima, karena penuh kekerasan dan
pandangan sebelah mata terhadap bidang olahraga ini untuk kehidupan (mapan)
yang diharap-harapkan orang-orang.
Singkat cerita, anak
yang telah melalui banyak liku-liku kehidupan ini ujung-ujungnya dikeluarkan
dari sekolah. Kepala Sekolahnya tidak suka anak yang suka berkelahi. Di saat
bersamaan ayah si anak yang sudah sakit-sakitan jatuh koma di rumah sakit. Karena
dokter sudah memberi isyarat bahwa ayahnya tidak akan bertahan lama lagi, si
anak berlari kencang ke sekolah dan
menghadap kepala sekolah memohon padanya untuk datang menemui ayahnya dan
berkata bohong pada sang ayah bahwa anaknya diterima bersekolah kembali, tidak
jadi di-drop out. Setelah diyakinkan guru yang baik, kepala sekolah mau menemui
ayah si anak
Setelah semua
bertemu di ruang rawat inap, permintaan si anak terhadap kepala sekolahnya
dijalankan oleh kepala sekolah tersebut. Ternyata ayahnya tahu, sang kepala
sekolah telah berbohong. Di detik-detik sebelum meninggalnya, si ayah sempat
berkata bahwa.. tidak ada guru yang
gagal mendidik muridnya, orang tua nya (dirinya sendiri) lah yang gagal.
Ternyata masa kecil sang ayah dulu sangatlah suram. Ia dibesarkan dalam
lingkungan penuh kekerasan hingga ia sendiri pun tidak tahu cara mengungkapkan
kasih sayang, bahkan pada anaknya sendiri. Saat anaknya ternyata diketahui
berbakat dalam bidang olahraga bela diri (yg disebutnya petarung), ia malah
semakin kasar pada anaknya dan tidak pernah memujinya. Sang ayah mengira
anaknya tidak perlu masuk ke dunia bela diri, jalani saja hidup yang
"lurus seperti orang kebanyakan saja". Ternyata sang ayah salah dan
ia sadar. Di akhir, ia berkata ia sangat menyayangi anaknya, memuji bakat
anaknya dan meminta anaknya jadi lah atlet bela diri internasional. Lalu...sang
ayah pergi selamanya, di hadapan anak, seorang teman, dan guru-gurunya.
Beberapa tahun
kemudian, anak laki-laki ini menjadi atlet bela diri kebanggaan Singapura dan
menjadi kakak alumni favorit -dari sekolah yang sempat mengeluarkan dirinya.
Anak tersebut
menginspirasi adik-adik kelas di almamaternya untuk terus mau menjaga impian,
sesulit apapun impian tersebut. Selain itu anak laki-laki ini juga meninggalkan
pelajaran berharga untuk teman-teman, orang tua, dan guru-guru akan pentingnya
sebuah pujian.
Kenapa pujian?
Karena pujian adalah salah satu suntikan semangat. Mungkin terdengar hanya
sebagai rangkaian kata, sorak-sorak kagum, tanda salut, atau yang paling
lemahnya..hm..basa basi (?) sebagai tanda senang (?).
Betapa sepele pun
suatu pujian itu ternyata mampu membangun kepercayaan diri seperti yang saya
sebut di paragraf awal. Tidak peduli umur berapapun, bagi yang mempunyai
impian, cita-cita, di saat ia sangat bersemangat membangun harapan.. dan
bergerak secepat gerak Brown untuk melontarkan mimpinya itu menjadi
nyata..ditambah dengan stimulus pujian itu akan membangkitkan energi semangat.
Kedengaran seperti
anak TK kah butuh pujian? Oke, kalau kita berpikiran pendek mungkin iya, benar.
Seperti kekanak-kanakan. Atau kasarnya, seperti haus pujian. Haus pujian itu
beda lagi. Ingat saja segala sesuatu yang berlebihan pun memang tak baik, haus
pujian ya berarti nafsu berlebih untuk dipuji. Tapi harus dikasi pujian itu
jelas beda, tujuannya semata-mata memberi stimulus semangat :)
Dengan memberikan
pujian, itu juga tersirat akan sarat makna doa untuk orang yang dipuji hasil
kerja/karyanya. Tersirat doa agar yang dipuji menjadi lebih baik dan lebih
sukses, tersirat doa agar selalu lurus di jalan yang benar menuju cita-cita,
tersirat doa yang agung supaya Tuhan melindungi. Doa itu energi positif kan?
Pujian itu energi positif kan?
Kembali sebentar ke
cerita drama asal Singapura di atas, karena pujian yang sempat diucapkan sang
ayah sebelum meninggal tersebut, sang anak yang tadinya down, menjadi kembali
bersemangat. Tidak sia-sia, bakat olahraga bela diri nya itu di kemudian hari ternyata sukses besar
Masih beratkah untuk
mau memberikan pujian ke adik-adik kecil kita yang bersemangat? Masih mau
mengecilkan mental anak-anak yang punya cita-cita tinggi? Masih merendahkan impian teman sendiri? Jangan deh..
Adik-adik kecil itu,
anak-anak itu sebenarnya juga potret diri kita, potret kehidupan kita saat kita
dulu memandang masa depan. Kita dulu kecilnya juga dengan riang membangun
impian dan cita-cita kita. Namun setelah dewasa, karena dijebak realitas lah, kita
sering kekurangan rasa optimis. Jangan sampai penjatuhan mental, penyepelean,
terjadi lagi pada adik-adik maupun anak-anak ini.
Contoh kecil, jangan segan kasi ke pujian ke adik ini yang mau cuci tangan sebelum makan. Itu akan menyemangati hatinya untuk terus mau jaga kebersihan lho,
Kita pun yang sudah
berumur di atas 20 ini bisa, kok..untuk
memuji dan menyemangati diri. Usir
jauh-jauh mental yang lemah, yang kecil, yang sering dijebak kata "kenyataannya
adalah..". Usir saja, usir ke samudra sana (hii..jauh ya :))
Adik-adik kecil itu, anak-anak itu
sebenarnya juga potret diri kita, potret kehidupan kita saat kita dulu
memandang masa depan. Kita dulu kecilnya juga dengan riang membangun impian dan
cita-cita kita. Namun setelah dewasa, karena dijebak realitas lah, kita sering
kekurangan rasa optimis. Jangan sampai penjatuhan mental, penyepelean, terjadi
lagi.
Kita pun yang sudah berumur di atas 20 ini bisa, kok..untuk memuji dan
menyemangati diri. Usir jauh-jauh mental
yang lemah, yang kecil, yang sering dijebak "kenyataannya adalah..".
Hmm.. Melihat berbagai pemberitaan nasional di televisi..
Kita sudah kelelahan mental kita sering
dijatuhkan, bangsa kita sudah kelelahan
Saatnya kita puji lagi diri dan harkat kita,
dengan lantang, selantang protocol wisuda ketika mengumumkan wisudawan yang
nilainya terbaik, “Dengaaan Pujiiian” (jadi ingat wisuda :p)
Bangkit saja lagi. Bangkit! Satu kata itu saja yang kita butuh
Artikel ini saya buat sambil mendengarkan
lagu Greatest Love of All yang dinyanyikan oleh Whitney Houston. Coba dengerin
deh lagunya. Bagus. Oiya, gambar-gambar yang dimuat merupakan hasil dari google-ing bebas
Salam hangat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar