Jumat, 14 Januari 2011

Case : Tuberkulosis Paru (1)

A. Definisi
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi bakteri menahun yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang ditandai dengan pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi. Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman aerob yang dapat hidup terutama di paru atau berbagai organ tubuh lainnya yang bertekanan parsial tinggi. Penyakit tuberculosis ini biasanya menyerang paru tetapi dapat menyebar ke hampir seluruh bagian tubuh termasuk meningens, ginjal, tulang, dan nodus limfe. Infeksi awal biasanya terjadi 2-10 minggu setelah pajanan. Individu kemudian dapat mengalami penyakit aktif karena gangguan atau ketidakefektifan respon imun.

B. Etiologi
Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan (Basil Tahan Asam). Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembek. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dorman selama beberapa tahun. Kuman dapat disebarkan dari penderita TB BTA positif kepada orang yang berada disekitarnya, terutama yang kontak erat.
TBC merupakan penyakit yang sangat infeksius. Seorang penderita TBC dapat menularkan penyakit kepada 10 orang di sekitarnya. Menurut perkiraan WHO, 1/3 penduduk dunia saat ini telah terinfeksi M. tuberculosis. Kabar baiknya adalah orang yang terinfeksi M. tuberculosis tidak selalu menderita penyakit TBC. Dalam hal ini, imunitas tubuh sangat berperan untuk membatasi infeksi sehingga tidak bermanifestasi menjadi penyakit TBC.

C. Patogenesis
Tuberkulosis Primer
Infeksi primer terjadi setelah seseorang menghirup Myobacterium tuberculosis. Setelah melalui barier mukosilier saluran napas, kuman TB akan mencapai alveoli. Kuman akan mengalami multiplikasi di paru, yang disebut sebagai focus Gohn. Melalui aliran limfe, kuman TB akan mencapai kelenjar limfe hilus. Fokus Gohn dan limfadenopati hilus membentuk kompleks primer TB. Melalui kompleks primer, kuman TB akan menyebar melalui pembuluh darah ke seluruh tubuh.
Secara garis besar bisa digambarkan sebagai berikut:
Kuman TB  saluran napas  bersarang di jaringan paru  memebentuk sarang primer afek primer  peradangan saluran getah bening menuju hilus (Iimfangitis lokal)  pembesaran kelenjer getah bening di hilus (Iimfadenitis regional).
Jika afek primer ditambah dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer.
Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut :
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (sarang Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3. menyebar dengan cara :
a. Perkontinuitatum (menyebar ke sekitarnya)
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya. Tertelannya dahak bersama ludah. Penyebaran juga terjadi ke dalam usus.
c. Penyebaran secara hematogen dan Iimfogen. Sangat bersangkutan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi basil. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh spontan, akan tetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosa. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya.

Tuberkulosis post-primer
Dari tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian tuberkulosis post-primer. Tuberkulosis post primer mempunyai macam-macam nama, tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem kesehatan rakyat, karena dapat menulari sekitarnya.
Tuberkulosis post-primer dimulai dengan sarang dini, yang umunya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior. Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan:
1. Diresorpsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat
2. Sarang tadi mula-mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri menjadi lebih keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali, membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti, bila jaringan keju dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju tadi keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Nasib kaviti ini :
a. Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang sebutkan diatas.
b. Dapat pula memadat dan membungkus diri dan disebut tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi.
c. Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri, akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus, dan menciut sehingga kelihatan sebagai bintang (stellate shaped).

D. Klasifikasi
TB Paru  merupakan tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru).
1. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA), TB paru dibagi dalam :
a. Tuberkulosis paru BTA (+)
• 2 dari 3 spesimen dahak positif
• Satu spesimen dahak positif + radiologi tuberkulosis aktif.
• Satu spesimen dahak positif + biakan positif
b. Tuberkulosis paru BTA (-)
• dahak 3 kali negative + gambaran klinik dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif + tidak respons antibiotik spektrum luas
• dahak negatif + biakan negatif + gambaran radiologik positif
2. Berdasarkan tipe penderita
a. Kasus baru
belum pernah mendapat OAT atau menelan OAT kurang dari satu bulan
b. Kasus kembuh ( relaps )
pernah mendapat OAT dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.
c. Kasus pindahan (transfer)
sedang pengobatan di kabupaten lain pindah berobat ke kabupaten ini.
d. Kasus lalai berobat
paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 minggu atau lebih, kemudian datang kembali berobat.
e. Kasus gagal
• penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada satu bulan sebelum akhir pengobatan atau lebih
• penderita BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan dan atau gambaran radiologik ulang hasilnya perburukan.
f. Kasus kronik
Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang kategoti 2 dengan pengawasan yang baik.
g. Kasus bekas TB
• mikroskopik negatif
• Gejala klinik tidak ada
• Radiologik lesi TB inaktif
• Riwayat pengobatan OAT yang adekuat
TB Ekstra Paru
a. TB ekstra paru ringan
Misalnya : TB kelenjer limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjer adrenal.
b. TB ekstra paru berat :
Misalnya : meningitis, millier, parikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat kelamin.

Berdasarkan terapi, WHO membedakan TB menjadi 4 kategori yaitu :
Kategori I. Kasus baru dengan sputum positif atau kasus baru dengan bentuk TB berat.
Kategori II. Kasus kambuh atau kasus gagal dengan sputum BTA positif.
Kategori III. Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas atau kasus TB ekstraparu selain dari yang disebut pada kategori I.
Kategori IV. TB kronik.

E. Manifestasi Klinis
Keluhan yang dirasakan oleh pasien TB dapat bervariasi atau terkadang ditemukan banyak pasien dengan TB paru tanpa keluhan sama sekali. Keluhan yang biasa ditemukan pada pasien dengan TB paru adalah diantaranya demam, batuk dengan atau tanpa darah, sesak napas, nyeri dada, malaise.
Demam pada pasien dengan TB paru biasanya subfebris tetapi kadang dapat mencapai 40-41o C. Demam ini biasanya hilang timbul sehingga pasien merasa tidak pernah bebas dari serangan demam. Keadaan ini berhubungan dengan daya tahan tubuh pasien serta berat ringannya infeksi kuman TB yang masuk.
Gejala batuk pada pasien dengan TB banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama maka mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yaitu setelah setelah berminggu-minggu atau berbulan-bilan peradangan dimulai. Sifat batuk dapat dimulai dari batuk kering dan setelah timbul peradangan menjadi batuk produktif yang menghasilkan sputum. Keadaan lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapatnya pembuluh adrah yang pecah. Batuk darah kebanyakan timbul akibat kavitasi namun dapat pula terjadi pada ulkus dinding bronkus.
Sesak napas pada penyakit ringan belum akan dirasakan. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit paru yang sudah lanjut, yang infiltrasinya meliputi setengah bagian paru. Nyeri dada agak jarang ditemukan. Timbul biasanya bila infiltrasi radang sudah mencapai pleura sehingga terjadi pleuritis.
Penyakit TB merupakan penyakit radang yang menahun sehingga gejala malaise sering ditemukan yang dapat berupa anorexia (tidak nafsu makan), berat badan yang menurun, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam. Gejala malaise semakin lama semakin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.

F. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu tubuh yang subfebris, badan kurus atau berat badan menurun. Pemeriksaan fisik sering tidak diperoleh hasil yang memuaskan terutama apabila sarang penyakit terletak di dalam akan sulit dinilai secara palpasi, perkusi dan auskultasi.
Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex dan segmen posterior, serta daerah apex lobus inferior, kelainan yang dapat ditemui yaitu:
• suara napas bronkial, amforik,
• suara napas melemah, ronki basah
• tanda-tanda penerikan paru, diafragma & mediastinum.
Bila dicurigai adanya infiltrat agak luas mungkin ditemukan perkusi yang redup dan auskultasi suara bronkhial dan suara tambahan ronkhi basah kasar yang nyaring. Namun bila infiltrat diliputi penebalan pleura, suara tambahan menjadi vesikular melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, pada perkusi akan diperoleh hasil hipersonor atau timpani dan suara auskultasi amforik.
Pada TB paru lanjut dengan fibrosis luas sering ditemukan atrofi dan retraksi otot interkostal. Bagian paru yang sakit menciut dan menarik isi mediastinum atau paru yang lain. Paru yang sehat jadi hiperinflasi. Keadaan lanjut TB paru dapat meningkatkan tekanan arteri pulmonalis (hipertensi pulmonalis) yang diikuti terjadinya kor pulmonale dan gagal jantung kanan sehingga akan dapat ditemukan tanda-tanda kor pulmonale dengan gagal jantung kanan seperti takipnea, takikardi, sianosis, right ventrikular lift, right artikular gallop, murmur Graham Steel, bunyi P2 yang mengeras, tekanan vena jugularis yang meningkat, hepatomegali, ascites dan edem.
Dalam penampilan klinis, TB paru sering asimptomatik dan penyakit baru dicurigai dengan didapatkan adanya kelainan radiologis dada pada pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin positif.
Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyak cairan di rongga pleura, kelainan yang bisa ditemui yaitu:
- perkusi pekak
- suara napas yang melemah  tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.
Pada limfadenitis tuberkulosis, terlihat pembesaran KGB tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang didaerah ketiak. Pemeriksaan kelenjer tersebut dapat menjadi “cold abscess”.

G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan spesimen
1. Bahan pemeriksaan: dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavege/BaL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)
2. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturut-turut atau dengan cara :
A. Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
B. Dahak pagi (keesokan harinya)
C. Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi )
Bahan pemeriksaan / spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan / ditampung dalam pot yang bermulut lebar, berpenampung 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor.

Pemeriksaan Radiologik
 foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral.
TB aktif :
a) bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atau dan segmen superior lobus bawah paru
b) Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular
c) Bayangan bercak milier
d) Efusi pleura unilateral

TB inaktif
a) Fibrotik, terutama pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas dan segmen superior bawah paru
b) Kalsifikasi
c) Penebalan pleura

Luas proses yang tampak pada foto toraks:
1. Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dari volume paru yang terletak diatas chondrostemal junction dari iga kedua dan prosesus spinosus dari vertebrata torakalis IV atau korpus vertebra torakalis V (sela iga 11) dan tidak dijumpai kaviti
2. Lesi luas
Bila proses lebih luas dari lesi minimal

Pemeriksaan Darah
1. Laju endap darah (LED)
2. Pemeriksaan serologi:
a. Enzym linked immunosorbent assay ( ELISA)
b. Mycodot
c. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)
Pemeriksaan darah ini umumnya kurang mendapat perhatian karena hasilnya kadang-kadang meragukan, tidak sensitif, tidak juga spesifik. Pada saat TB baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih dibawah normal. Laju endap darah mulai meningkat. Jika penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal, dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun ke arah normal lagi. Bisa juga didapatkan anemia ringan dengan gambaran normokron dan normositer, gama globulin meningkat dan kadar natrium darah menurun.

Uji tuberculin
Dilakukan dengan menginjeksikan secara intracutaneous 0.1ml Tween-stabilized liquid PPD pada bagian punggung atau dorsal dari lengan bawah. Dalam wkatu 48 – 72 jama, area yang menonjol (indurasi), bukan eritema, diukur. Ukuran tes Mantoux ini sebesar 5mm diinterpretasikan positif pada kasus-kasus :
1. Individu yang memiliki atau dicurigai terinfeksi HIV
2. Memiliki kontak yang erat dengan penderita TBC yang infeksius
3. Individu dengan rontgen dada yang abnormal yang mengindikasikan gambaran proses penyembuhan TBC yang lama, yang sebelumnya tidak mendpatkan terapo OAT yang adekuat
4. Individu yang menggunakan Narkoba dan status HIV-ny tidak diketahui
Sedangkan ukuran 10mm uji tuberculin, dianggap positif biasanya pada kasus-kasus seperti :
1. Individu dengan kondisi kesehatan tertentu, kecuali penderita HIV
2. Individu yang menggunakan Narkoba (jika status HIV-ny negative)
3. Tidak mendapatkan pelayanan kesehatan, populasi denganpendapatan yang rendah, termasuk kelompok ras dan etnik yang beresiko tinggi
4. Penderita yang lama mondokdirumah sakit
5. Anak kecil yang berusi kurang dari 4 tahun
Uji ini sekarang sudah tidak dianjurkan dipakai,karena uji ini haya menunjukkan ada tidaknya antibodi anti TBC pada seseorang, sedangkan menurut penelitian, 80% penduduk Indonesia sudah pernah terpapar intigen TBC, walaupun tidak bermanifestasi, sehingga akan banyak memberikan false positif.

Pemeriksaan lain
a. analisis cairan pleura & uji Rivalta pada penderita efusi pleura  Rivalta positif dan kesan cairan eksudat
b. Polymerase chain reastion (PCR)

H. Pengobatan Tuberkulosis
Dahulu terapi untuk TB hanya dipakai satu macam obat saja namun sekarang pemakaian obat tunggal banyak terjadi resistensi. Untuk mencegah terjadinya resistensi, terapi TB dilakukan dengan memakai panduan obat sedikitnya 2 macam obat bakterisid Tujuan pemberian obat anti TB adalah :
• Membuat konversi sputum BTA positif menjadi negative secepat mungkin melalui kegiatan bakterisid (obat anti TB yang bersifat membunuh kuman yang sedang tumbuh)
• Mencegah kekambuhan dalam tahun pertama setelah pengobatan dengan kegiatan sterilisasi (obat anti TB yang bersifat membunuh kuman yang pertumbuhannya lambat)
• Menghilangkan atau mengurangi gejala melalui perbaikan daya tahan imunologis.

Pemberian obat ini terbagi menjadi 2 fase:
- fase intensif (2-3 bulan)
- fase lanjutan 4 atau 7 bulan.

Obat Anti Tuberkulosis
1. Jenis obat utama yang digunakan adalah :
a. Rifampisin
b. INH
c. Pirazinamid
d. Streptomisin
e. Etambutol
2. Kombinasi dosis tetap ( Fixed dose combination)
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 4 obat antituberkulosis, yaitu rifamsinin, INH, pirazinamid dan etambutol dan 3 obat antituberkulosis, yaitu rifampisin, INH dan pirazinamid.
3. Jenis obat tambahan lainnya :
a. Kanamisin
b. Kuinolon
c. Obat lain masih dalam penelitian : makrolid, amaksilin + asam klavulanat
d. Derivat rifampisin dan INH

Dosis OAT
1. Rifampisin 10 mg/kg BB, maksimal 600 mg 2-3 x / minggu atau
BB > 60 kg : 600 mg
BB 40-60 kg : 450 mg
BB < 40 kg : 300 mg
Dosis intermiten 600 mg/ kali
2. INH 5 mg/kg BB, maksimal 300 mg,
• 10 mg/kg BB 3 x seminggu,
• 15 mg/kg BB 2 x seminggu
• 300 mg/hari untuk dewasa.
• Intermiten : 600 mg / kali
3. Pirazinamid : fase intensif 25 mg/kg BB, 35 mg/kg BB 3 x seminggu, 50 mg/kg BB 2 x seminggu atau :
BB > 60 Kg : 1500 mg
BB 40-60 kg : 1000 mg
BB < 40 kg : 750 mg
4. Etambutol : fase intensif 20 mg/kg BB, fase lanjutkan 15 mg/kg
BB, 30 mg/kg BB 3 x seminggu, 45 mg/kg BB 2 x seminggu atau:
BB > 60 kg : 1500 mg
BB 40-60 kg : 1000 mg
BB < 40 kg : 750 mg
Dosis intermiten 40 mg/kg BB /kali
5. Streptomisin : 15 mg/kg BB/kali
BB > 60 kg : 1000 mg
BB 40-60 kg : 750 mg
BB < 40 kg : sesuai BB
6. Kombinasi dosis tetap

Efek samping OAT :
1. Isoniazid (INH)
• Efek samping ringan: tanda-tanda keracunan pada syarat tepi, kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin ( syndrom pellagra)
• Efek samping berat : hepatitis. Hentikan OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus.

2. Rifampisin
a. Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simtomatik ialah :
• Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
• Sindrom perut
• Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
b. Efek samping yang berat tapi jarang:
• Hepatitis
• Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal.
• Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat. Air mata, air liur. karena proses metabolisme obat
3. Pirazinamid
Efek samping utama: hepatitis, Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-kadang dapat menyebabkan sarangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan sisebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbuhan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.
4. Etambutol
Gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi.
5. Streptomisin
Efek samping utama: kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Gejala efekya samping yang terlibat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan.
Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan.
Streptomisin dapat menembus barrier plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran janin.


Panduan Obat Anti Tuberkulosis
Kategori I ( 2 HRZE/4H3R3 atau 2 HRZE/4HR atau 2 HRZE/6HE )
• Penderita baru TBC Paru BTA (+)
• Penderita TBC Paru BTA (-) Rontgen (+) yang “sakit berat” dan
• Penderita TBC Ekstra Paru berat
Kategori II ( 2 HRZES/HRZE/5H3R3E3 atau 2 HRZES/HRZE/5HRE)
• Penderita kambuh (relaps)
• Penderita gagal ( failure )
• Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default)
Kategori III ( 2HRZ/ 4H3R3 atau 2HRZ/4HR atau 2HRZ/6HE )
• Penderita baru BTA (-) dan Rontgen (+) sakit ringan
• Penderita Ekstra Paru ringan
Kategori IV ( Sesuai Uji Resistensi atau INH seumur hidup )
• Penderita TB Paru kasus kronik

KETERANGAN
• R = Rifampisin, Z = Pirazinamid, H = INH, E = Etambutol S = Streptomisin.
• Pada kasus dengan resistensi kuman, pilihan obat ditentukan sesuai hasil uji resistensi.























Dosis obat berdasarkan berat badan :
Jenis obat BB < 30 kg BB 30 – 50 kg BB > 50 kg
R
H
Z
S
E 300 mg
300 mg
750 mg
500 mg
500 mg 450 mg
300 mg
1000 mg
750 mg
750 mg 600 mg
400 mg
1500 mg
750 mg
1000 mg

Pengobatan Suportif / Simtomatik
a. Makan-makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin tambahan (tidak ada larangan makanan untuk penderita tuberkulosis)
b. Bila demam  obat penurunan panas/demam
c. Bila perlu obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau keluhan lain.

Indikasi rawat inap :
• Batuk darah (profus)
• Keadaan umum buruk
• Pneumotoraks
• Empiema
• Efusi pleura masif / bilateral
• Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)

TB ekstra paru yang mengancam jiwa :
• TB paru milier
• Meningitis TB

I. Evaluasi
Penderita TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal 2 tahun setelah sembuh untuk mengetahui terjadinya kekambuhan. Yang dievaluasi adalah mikroskopi BTA dahak dan foto toraks. Mikroskopi BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6,12,24 bulan setelah dinyatakan sembuh.

J. Pengobatan tuberkulosis pada keadaan khusus
TB milier
1. Rawat inap
2. Paduan obat : 2 RHZE / 4 RH
3. Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinik, radiologik dan evaluasi pengobatan, maka pengobatan lanjutan dapat diperpanjang samapi dengan 7 bulan 2RHZE / 7 RH
4. Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan pada keadaan
a. tanda / gejala meningitis
b. sesak napas
c. Tanda / gejala toksik
d. Demam tinggi
5. Kortikosteroid : prednison 30-40 mg/hari, dosis diturunkan 5-10 mg setiap 5-7, lama pemberian 4-6 minggu


Pleuritis Eksudativa Tb ( Efusi Pleura Tb )
Paduan obat : 2 RHZE / 4RH
Evakuasi cairan, dikeluarkan seoptimal mungkin, sesuai keadaan penderita. Ulangan evakuasi cairan bila diperlukan dan berikan kortikosteroid.

TB Ekstra Paru
Paduan obat 2 RHZE / 10 RH

TB Paru + Diabetes Melitus
1. Paduan obat : 2 RHZ (E-S) / 4 RH dengan regulasi baik / gula darah terkontrol
2. Bila gula darah tidak terkontrol, fase lanjutan 7 bulan : 2 RHZ (E-S) / 7 RH
3. DM harus dikontrol
4. Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena efek samping etambutol ke mata : sedangkan penderita DM sering mengalami komplikasi kelainan pada mata
5. Perlu diperlihatkan penggunaan rifampisin akan mengurangi efektiviti obat oral anti diabetes (sulfonil urea), sehinggga dosisnya perlu ditingkatkan
6. Perlu kontrol / pengawasan sesudah pengobatan selesai, untuk mengontrol / mendeteksi dini bila terjadi kekambuhan

TB paru dengan HIV / AIDS
1. Paduan obat yang diberikan berdasarkan rekomondasi ATS yaitu : 2 RHZE / RH diberikan sampai 6-9 bulan setelah konversi dahak
2. Menurut WHO paduam obat dan lama pengobatan sama dengan TB paru tanpa HIV / AIDS
3. Jangan berikan Thiacetazon karena dapat menimbulkan toksik yang hebat pada kulit
4. Obat suntik kalau dapat dihindari kecuali jika sterilisasinya terjamin
5. Jangan lakukan desensitisasi OAT pada penderita HIV / AIDS (mis INH, rifampisin) karena mengakibatkan toksik yang serius pada hati
6. INH diberikan terus menerus seumur hidup
7. Bila terjadi MDR, pengobatan sesuai uji resistensi

TB pada kehamilan dan menyusui
1. Tidak ada infeksi pengguguran pad penderita TB dengan kehamilan
2. OAT tetap dapat diberikan kecuali streptomisin karena efek samping streptomisin pada gangguan pendengaran janin
3. Pada penderita TB dengan menyusui, OAT & ASI tetap dapat diberikan, walupun beberapa OAT dapat masuk ke dalam ASI, akan tetapi konsentrasinys kecil dan tidak menyebabkan toksik pada bayi
4. Wanita menyusui yang mendapat pengobatan OAT dan bayinya juga mendapat pengobatan OAT dianjurkan tidak menyusui bayinya, agar bayi tidak mendapat dosis berlebihan
5. Pada wanita usia produktif yang mendapat pengobatan TB dengan rifampisin dianjurkan untuk tidak menggunakan kontrasepsi hormonal, karena dapat terjadi interaksi obat yang menyebabkan efektiviti obat kontrasepsi hormonal berkurang.

TB paru gagal ginjal
1. Jangan menggunakan OAT streptomisin, kanamisin dan capreomycin
2. Sebaiknya hindari penggunaan etambutol karena waktu paruhnya memanjang dan terjadi akumulasi etambutol. Dalam keadaan sangat diperlukan, etambutol dapat diberikan dengan pengawasan kreatinin
3. Sedapat mungkin dosis disesuikan dengan faal ginjal (CCT, Ureum, Kreum, Kreatnin)
4. Rujuk ke ahli Paru

TB paru dengan kelainan hati
1. Bila ada kecurigaan gangguan fungsi hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan
2. Pada kelainan hati, pirazinamid tidak boleh digunakan
3. Paduan obat yang dianjurkan / rekomendasi WHO : 2 SHRE / 6 RH atau 2 SHE / 10 HE
4. pada penderita hepatitis akut dan atau klinik ikterik, sebaiknya OAT ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan sangat diperlukan dapat diberikan S dan E maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan 6 RH
5. Sebaiknya rujuk ke ahli paru

Hepatitis Imbas Obat
1. Dikenal sebagai kelainan hati akibat penggunaan obat-obat hepatotoksik (drug induced hepatitis)
2. Penatalaksanaan
a. Bila klinik (+) (Ikterik [ +], gejala / mual, muntah [+]) → OAT Stop
b. Bila klinis (-), Laboratorium terdapat kelainan :
c. Bilirubin > 2 → OAT stop
SGOT, SGPT ≥ 5 X : OAT Stop
SGOT, SGPT ≥ 3 X, gejala (+) : OAT stop
SGOT, SGPT ≥ 3 X, gejala (-)→ teruskan pengobatan dengan pengawasan

 Paduan OAT yang dianjurkan :
1. Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)
2. Setelah itu, monitor klinik dan laboratorium. Bila klinik dan laboratorium normal kembali (bilirubin, SGOT, SGPT), maka tambahkan H (INH) desensitisasi sampai dengan dosis penuh (300 mg). sela ma itu perhatikan klinik dan periksa laboratorium normal tambahkan rifampisin, desensitisasi samapi dengan dosis penuh (sesuai berat badan). Sehingga paduan obat menjadi RHES

ILUSTRASI KASUS
Identitas
Nama : L
Umur : 24 tahun
No. MR : XXXXXX
Seorang wanita berumur 24 tahun dirawat di bangsal Paru RSUP M.Djamil pada tanggal XX/XX/2011 dengan keluhan utama badan lemah sejak 2 minggu yang lalu
RPS :
- Badan lemah sejak 2 minggu yang lalu.
- Nafsu makan menurun sejak 3 minggu yang lalu, mual (+), muntah (-) sejak 2 minggu yang lalu.
- Batuk-batuk (+) sejak 3 minggu yang lalu, batuk berdahak warna kehijauan, riwayat batuk lama (+) sejak 1 tahun yang lalu.
- Batuk darah (), riwayat batuk darah (+), lebih kurang 6 bulan yang lalu, frekuensi 1 x, lengket di dahak
- Sesak nafas (+) sejak 2 hari yang lalu, sesak tidak menciut, tidak dipengaruhi emosi, cuaca, dan makanan, ada riwayat sesak nafas.
- Nyeri dada (-)
- Demam (-)
- Penurunan berat badan (+) tapi o.s tidak tahu berapa
- BAB dan BAK biasa
RPD :
- Riwayat OAT (+) pertama pada 4 Maret 2010 dengan BTA 3x (+) dari poli paru dan dimakan selama 1 bulan, lalu dihentikan sendiri, melanjutkan ke puskesmas pauh.
- Dirawat di bangsal paru tanggal 17 Mei 2010 dengan TB paru putus pengobatan, lalu mulai OAT tanggal 20 Mei 2010, dengan BTA 3x (+). Obat hanya dimakan selama 3 bulan dan sudah putus obat sejak 4 bulan yang lalu.

RPK : tidak ada keluarga yang menderita sakit seperti ini

Sosial ekonomi : Ibu rumah tangga dan tidak merokok

Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : sakit
Tekanan darah : 90/70 mmHg
Nadi : 110x/i
Suhu : 38,30C
Keadaan gizi : kurang
Tinggi badan : 150 cm
Berat badan : 33 kg
Kulit : tidak ada kelainan
Anemia : -
Ikterik : -
Edema : -
Sianosis : -
KGB tidak teraba pembesaran
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Leher : JVP 5-2 cmH2O
Paru :
- Inspeksi : asimetris, statis : hemitoraks kanan lebih flat daripada kiri. Dinamis : pergerakan kanan tertinggal dari yang kiri
- Palpasi : fremitus kanan = kiri
- Perkusi : kanan = redup, kiri = sonor
- Auskultasi : Kanan : suara nafas bronkovasikuler, Rh (+), Wh (+), amphoric sound (+) , kiri = suara ekspirasi memanjang, Rh (+) Wh (-)
Jantung :
- Inspeksi : ictus tidak tampak
- Palpasi : ictus teraba 2 jari lateral linea sternalis sinistra, RIC V
- Perkusi : Batas jantung kanan sukar dinilai, batas jantung kiri 2 jari lateral linea sternalis kiri.
- Auskultasi : suara murni, irama teratur, bising (-)
Perut :
- Inspeksi : tidak membuncit
- Palpasi : hepar tidak teraba, lien tidak teraba
- Perkusi : timpani
- Auskultasi : bising usus (+)
Punggung
- Inspeksi : asimetris, kanan lebih flat daripada kiri, [pergerakan kanan tertinggal dari kiri
- Palpasi : Fremitus kanan > kiri
- Perkusi : kanan = redup, kiri = sonor
- Auskultasi : suara nafas kanan + bronkovasikuler, Rh (+), Wh (+), amphoric sound (+), kiri + suara ekspirasi memanjang, Rh (+), Wh (-)
Anggota gerak :
- Edema : -/-
- Clubbing finger : -/-
Hasil laboratorium :
- Hemoglobin : 11,7
- Leukosit : 28.000
- Trombosit : 566.000
- Hematokrit : 37
Hasil analisis gas darah tanggal 11/01/2011
- Ph : 7,5
- PCO2 : 37
- PO2 156
- HCO3 : 29,0
- BE : 5,7
- SO2 : 99%

WD/ : TB Paru putus obat + KU lemah + infeksi sekunder (CAP) + gastritis

Pemeriksaan :
Pukul 22.00, hasil skin test ceftriaxon, indurasi (+), gatal (+), kesimpulan : alergi, diganti dengan cefotaxim 2 x 2 gr

D/U rutin
Faal hepar/faal ginjal
BTA 3x
Kultur dan resistensi MTB (sudah dikirim, sedang menunggu hasil)
Kultur dan sensitivity kuman banal

Thy /
- O2 2-3 L/i
- IVFD NaCl 0,9% : Panamin : Triofusin 1 : 1 : 1
- Co. Anoxidan 3 x 625
- Ambroxol 3 x1
- Antacid 3 x 1
- Ranitidin 2 x 1 amp



Follow up 11/1/2011
S :
- Badan lemah (+)
- Mual (-) muntah (-)
- Batuk (+)
- Sesak nafas (+)
O :
- Keadaan umum : sedang
- Kesadaran : cmc
- Tekanan Darah : 90/70 mmHg
- Heart Rate : 100x/i
- Respiratory Rate : 32x/i
- Temperature : Afebris
Paru : Suara nafas bronkovesikuler Rh +/+, Wh -/-
P:
Cek BTA I
Faal hepar/ faal ginjal
Kultur dan resistensi MTB
Hasil kultur :
Hasil pemeriksaan kultur dan resistensi MTB, positif (3+)
Pembiakan + positif
Biokimia :
- Tes Niacin : +
- Tes PNB : +
Tes resistensi :
- Streptomisin : S
- Isoniazid : S
- Rifampisin : S
- Ethambuthol : S
M. Tuberculosis
Hasil lab :
Hb : 9,6
Leukosit : 19.300
Ht : 32
Trombosit : 631.000
GDS : 88
Ureum : 7
Kreatinin : 0,4
Asam urat : 4,0
Natrium : 130
Kalium : 3,9
Cl : 98
Total Protein : 6,0
Albumin : 2,7
Globulin : 3,3
Bilirubin total : 0,3
SGOT/SGPT : 13/5
Kebutuhan albumin
(3,8-2,7) x 04 x 33 x 2 = 29,04
Plasbumin 20 mg (isi 10 gr
Hasil BTA I (-)

Follow up 12/1/2011
S :
- Badan lemah (+)
- Mual (-) muntah (-)
- Batuk (+) berdahak putih kekuningan
- Sesak nafas
- Nafsu makan mulai ada
O :
KU : sedang
Kesadaran : cmc
Tekanan darah : 90/70 mmHg
Heart Rate : 98x/i
Respiratory Rate : 28x/i
Temperature : Afebris



Follow up 13/1/2011
S :
- Badan lemah (+)
- Mual (-) muntah (-)
- Batuk (+)
- Sesak nafas (+)
O :
KU : sedang
Kesadaran : cmc
Tekanan darah : 90/70 mmHg
Heart Rate : 96x/i
Respiratory Rate : 23x/i
Temperature : Afebris
Auskultasi : Suara nafas ekspirasi memanjang Rh +/+ Wh -/-
Plasbumin masuk 1 kolf

A :
Hasil lab :
- Total protein : 6,2
- Albumin : 2,7
- Globulin : 3,5


P:
Antar BTA II, warna darah (-), induksi NaCl, cek ulang albumin
Thy /
- O2 2-3 L/i
- IVFD NaCl 0,9% : D 5% 2 : 1
- Cefotaxim 2 x 2 gr
- Co Amoxicilin 3 x 625 gr
- Ambroxol 3 x 1
- Ranitidin 2 x 1
- Antacid 2 x 1
- ML TKTP





DISKUSI

Telah dilaporkan seorang pasien wanita berumur 24 tahun, yang dirawat di bangsal paru tanggal 10 Januari 2011, dengan diagnosis :
TB Paru putus obat + KU lemah + infeksi sekunder (CAP) + gastritis